Duduk di Pinggir Danau

aku melihat ibuku di atas langit. adikku menggenggam bulan di tangannya dan ayah menyuruhnya berendam di dalam danau. jangan keluar, kata ayah. ada bulan di dalam danau. bulan itu tenggelam, kataku. bulan tidak tenggelam, kata adikku. ibu melihat dari atas langit. ayah mondar-mandir. di mana kekasihmu, kata ibu. kekasihku tenggelam, kataku. bulan tidak tenggelam, kata adikku. ayah tidak melihat ibu di atas langit.

aku membaca puisi hingga tertidur di dasar danau.

2014

Duduk di Dalam Kereta

aku duduk di dalam gerbong kereta. di
sebelah wajahku adalah jendela. adik
perempuanku menggambarnya dengan
darah. ayah tidak di sini, katanya. ayah
sedang terbawa angin menuju pohon di
belakang rumah. ibu tidak di sini, katanya.
ibu sedang menyusuri rel menuju kamar
di dalam rumah. aku melihat ke arah jendela
kereta. jendela kereta merah darah. jendela
kereta memantulkan pertengkaran. tetapi
adikku ada di depanku dan wajahnya adalah
jendela. tetapi ibuku menjadi selimut yang
tak mendekap apa-apa. di sebelah wajahku
adalah jendela yang memperlihatkan wajah
ayah. jendela ayah retak. jendela adikku
retak.

malam berlalu begitu cepat.

2014

Resolusi

Beberapa saat sebelum menulis catatan ini, saya baru ingat bahwa pada tahun 2013 saya tidak membuat resolusi apapun. Biasanya, saya membuat resolusi. Di tahun 2011, misalnya, saya membuat resolusi ingin lulus kuliah, mendapatkan pekerjaan, dan menerbitkan buku. Tahun 2012, saya ingin lebih rajin olahraga, mendapatkan perut sixpack, dan menyelesaikan beberapa rencana proyek menulis. Tahun 2013, saya tidak membuat resolusi apapun. Saya tidak tahu mengapa saya tidak membuat resolusi apapun seperti biasanya. Mungkin saya lupa. Atau mungkin saya terlalu asyik dengan apa yang sedang saya lakukan sehingga tidak sempat menyusun resolusi.

Seperti sebuah catatan akhir tahun pada umumnya, saya ingin sedikit mengingat apa yang sudah saya alami dan saya kerjakan di sepanjang tahun ular air ini.

Februari 2013, saya menulis beberapa cerpen yang kemudian terkumpul dalam sebuah buku, Milana. Sebagian dari buku tersebut berisi cerpen-cerpen yang saya tulis tiga tahun sebelumnya. Proses hingga Milana terbit dan edar di pasaran cukup singkat. Revisi berjalan lancar dan bulan April buku itu terbit dan menjadi buku kumpulan cerpen pertama saya. Hingga saat ini, Milana sudah masuk cetakan ketiga.

Mei 2013, saya mulai menyunting novel Cinta. Manuskrip novel tersebut sudah saya serahkan ke penerbit sejak November 2012, waktu itu masih berjudul Love Is Right (saat Cinta. terbit, beberapa pembaca masih bertanya “Love Is Right ke mana?). Revisi Cinta. cukup membuat pusing karena banyak sekali yang harus diutak-atik dan diperbaiki. Tapi akhirnya semua berhasil terlewati dengan baik dan Cinta. terbit pada akhir Agustus 2013.

Juli 2013, saya terbang ke Makassar untuk pertama kalinya dalam rangka menghadiri Makassar International Writers Festival 2013. Saya sempat bicara pada dua sesi di sana, bersama M. Aan Mansyur dan Dewi Lestari. Di sana juga untuk pertama kalinya saya bertemu dengan dua orang penyair yang saya idolakan: Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Saya bahkan tidur satu kamar dengan Joko Pinurbo (saya histeris waktu menerima surat-e dari panitia acara yang mengatakan bahwa saya akan satu kamar dengan Jokpin). Saya juga sempat mengobrol dengan beberapa orang penulis dan mendapatkan banyak ilmu lewat sesi-sesi diskusi pada acara tersebut. Betul-betul pengalaman yang tidak terlupakan.

Agustus 2013, saya pulang ke kota kelahiran, Pontianak. Saya membuat proyek Kopdar Fiksi, sebuah kelas menulis fiksi gratis yang saya rancang untuk memunculkan penulis-penulis muda di Pontianak. Di kemudian hari, Kopdar Fiksi tidak hanya diselenggarakan di Pontianak. Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar, sempat menjadi kota-kota yang saya sambangi untuk berbagi perihal menulis fiksi dengan membawa nama Kopdar Fiksi. Di Yogyakarta, Kopdar Fiksi sudah berjalan satu angkatan.

Oktober 2013, saya pergi ke Bali untuk berpartisipasi dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2013. Saya bersama 15 penulis lain, yang kebanyakan masih muda, menjadi penulis terpilih yang diundang ke UWRF lewat jalur seleksi karya. Waktu itu saya mengirim cerpen (tadinya mau mengirim buku puisi, tapi saya baru ingat usia Angsa-Angsa Ketapang sudah terlalu tua untuk saya ikutsertakan). Di sana saya sempat bicara di sebuah sesi, berdampingan dengan penulis dari Amerika, Glen Duncan, dan Ilham Q. Moehiddin.

Tak ada hal lain lagi sepertinya yang bisa saya ingat pada bulan November dan Desember 2013, selain bahwa saya menghabiskan sebagian tabungan saya untuk membeli buku. Saya akan mengagetkan diri saya sendiri kalau menyebutkan nominalnya. Menyadari bahwa tumpukan buku di kamar semakin banyak, maka di tiga bulan terakhir tahun 2013 saya habiskan untuk membaca buku tersebut satu per satu. Menurut catatan di Goodreads, tahun ini saya membaca 125 buku. Di awal tahun, saya menargetkan setidaknya membaca 50 buku tahun ini. Saya senang karena akhirnya saya merasa mendapatkan kembali momentum dan ritme membaca saya. Belakangan saya sedang fokus membaca buku-buku luar negeri dan hanya sesekali membaca buku dari penulis Indonesia.

Sebetulnya ada dua hal lagi yang saya dapatkan di penghujung tahun 2013. Dua hal ini adalah cahaya baru, jalan baru yang akan mulai saya lakoni dan tempuh di tahun mendatang. Dua hal ini menjadi semacam pembuka babak baru dalam hidup saya. Seperti sebuah buku bagus yang memiliki paragraf pembuka yang menarik, saya optimistis dengan babak baru ini karena mereka juga memiliki opening yang membuat saya penasaran untuk mengikuti paragraf-paragraf berikutnya. Dua hal ini masih akan saya rahasiakan hingga tahun depan.

Seperti telah dengan tidak sengaja saya lakukan di 2013, pada tahun 2014 saya tidak akan membuat resolusi. Saya juga tidak akan banyak bercerita tentang apa saja yang akan saya kerjakan atau proyek menulis yang akan saya garap. Saya hanya bisa berkata bahwa tahun depan saya akan melakoni dunia yang baru. Apakah dunia baru ini akan menyenangkan atau tidak? Saya sendiri baru bisa menjawabnya setelah menjalaninya nanti. Meskipun demikian, setidaknya ada dua hal yang masih akan saya lakukan di tahun depan: saya masih akan membaca dan menulis.

Mengingat bahwa saya tidak membuat resolusi apapun untuk tahun 2013 dan ternyata saya mengerjakan dan mendapatkan banyak hal, membuat saya berpikir bahwa sepertinya membuat resolusi bukanlah hal yang betul-betul berguna. Tentu saja kita perlu untuk berencana, namun yang paling penting adalah mengerjakan. Sebesar apapun rencana, kalau tidak dikerjakan sama saja seperti katak dalam tempurung (maaf, perbendaharaan peribahasa saya buruk sekali)

Jadi, singkat kata singkat cerita, satu kalimat yang akan saya katakan kepada diri saya sendiri di akhir tahun 2013 ini untuk menyambut datangnya tahun 2014 adalah: Stop planning, start doing.

 

***

[Review] Sebuah Pertanyaan yang Memucat – Arys Aditya

thumb.php

Menulis fiksi adalah menyampaikan pesan-pesan atau nilai-nilai yang diinginkan oleh si penulis lewat metafora. Apa yang membuat fiksi berbeda dengan pidato dan poster atau pamflet adalah, dalam fiksi kita tidak mendikte, berdakwah, atau berpidato. Kita tidak berkata bahwa “si kancil adalah binatang yang cerdik”. Namun, kita menggunakan sebuah cerita, untuk menggambarkan bahwa si kancil adalah binatang yang cerdik.

Sebagai pembaca, saya membaca fiksi salah satunya adalah untuk melarikan diri dari dunia nyata dan buku-buku nonfiksi yang mendikte. Saya menyukai fiksi karena ia menyodorkan cerita, bukan panduan hidup yang ditulis dalam poin-poin dan disampaikan layaknya nasehat orangtua yang harus dipatuhi. Meski pada akhirnya si pembaca (secara sadar atau tidak, niat atau tidak) akan mengambil nilai-nilai dan pelajaran dari cerita yang ia baca. Namun tidaklah pesan-pesan itu disampaikan seperti poster atau pamflet atau naskah pidato yang kering dan menggurui. Melainkan lewat metafora, sebuah kisah.

Itulah kesan tak nyaman yang saya dapatkan ketika membaca “Sebuah Pertanyaan yang Memucat”, novella karya Arys Aditya (2013, Indie Book Corner). Dibuka dengan adegan percakapan yang apik menurut saya (dan saya menyukainya lebih dari bagian-bagian berikutnya dalam novella ini), cerita pada novella ini semakin ke belakang semakin seperti kelas perkuliahan. Banyak sekali pesan-pesan filosofis yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Yang, sayangnya, disampaikan dengan cara mendikte. Setidaknya, saya merasa demikian. Penulisnya memaksakan nilai-nilai yang ingin ia sodorkan kepada pembaca lewat dialog-dialog tokoh dalam cerita. Mendadak saya seperti membaca buku silabus atau buku nonfiksi yang dibalut sekenanya hingga bisa disebut sebagai fiksi.

Andai saja si penulis menyampaikan pesan-pesan yang hendak ia sampaikan lewat sebuah metafora, lewat sebuah kisah seperti kancil yang cerdik (hanya contoh), tentu novella ini lebih nyaman dibaca. Bagi saya, “Sebuah Pertanyaan yang Memucat” terasa seperti buku pelajaran filsafat yang dibungkus sekenanya agar bisa disebut sebagai buku fiksi.

Saya suka bagian pembuka novella ini. Jika novella ini bisa dibungkus dengan adegan-adegan seperti pada bagian pembukanya, menurut saya akan lebih enak dibaca.

Milana di Gramedia Ayani Mall, Pontianak

Milana lagi jadi active-selling di Gramedia Ayani Mega Mall Pontianak.

Pas beli buku dan lagi mau bayar di kasir, mbak-mbak karyawan Gramedianya ngeliatin terus, sampai akhirnya waktu dia ngecek member card Gramedia saya dan konfirmasi, “Atas nama Bernard ya, Mas?” saya mengangguk, lalu dia, sebelum melanjutkan proses transaksi, bertanya kepada saya, “Kayak kenal namanya… Bernard Batubara yang penulis ya? Yang nulis Milana, ya?”

Saya menjawab, “Iya, Mbak. Saya Bernard Batubara, yang nulis Milana.” Si mbak kasir Gramedia pun langsung menyalami saya dengan semangat dan memberitahukan beberapa temannya yang sedang berada di dekatnya, “Eh, ini, Bernard Batubara… Penulis Milana.” Tiga-empat orang karyawan Gramedia lain ikut menyalami saya sembari melempar senyum girang. Mbak kasir Gramedia melanjutkan dengan memberi tahu bahwa Milana sedang jadi active selling di Gramedia Pontianak. Saya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih.

Aduh, malunyaa disalamin sama karyawan toko buku. Tapi terima kasih ya, mbak kasi

20130903-111335.jpg

Ziarah Lebaran

Sambil ngedit naskah novel baru, selesai baca “Ziarah Lebaran”, kumpulan cerpen Umar Kayam.

Cerpen-cerpen Umar Kayam selalu bersuara dari sudut pandang rakyat bawah, atau perkara rumahan yang sangat mendasar. Hampir seluruh cerpen dalam “Ziarah Lebaran” berkisah tentang problematika rakyat bawah (dan atas) dalam menghadapi hari besar umat Islam itu: tak bisa pulang kampung karena tak ada uang, pembantu yang berat meninggalkan majikan sendirian, orang kaya yang rumah besarnya terasa sepi karena anak-anaknya tak ada yang pulang lebaran, dan seterusnya.

Kisah-kisah masalah menjelang dan pada saat lebaran yang diangkat Umar Kayam dalam bukunya “Ziarah Lebaran” membuat saya mengingat rumah dan kampung halaman saya sendiri. Sekaligus mengingatkan saya akan status saya yang sebagai anak rantau, setahun sekali mengusahakan untuk pulang ke rumah menemui keluarga saat lebaran.

Membaca cerpen-cerpen Umar Kayam di bukunya yang ini, saya tiba-tiba menerawang, apakah kelak saat saya tua saya akan jadi lelaki yang kesepian di rumah sebab anak-anak saya yang sudah berkeluarga tak ada yang bisa pulang saat lebaran?

“Ziarah Lebaran” oleh Umar Kayam, 4 dari 5 bintang.

20130903-110824.jpg

Seribu Kunang-kunang di Manhattan

Selesai baca “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, kumpulan cerpen Umar Kayam.

Satu hal yang saya tangkap dari cerpen-cerpennya Umar Kayam, dialognya kurang ajar banget; efektif, nyeleneh, slengean, mengalir, kuat, dan menggerakkan plot.

Favorit saya sebuah cerpen berjudul Kimono Biru buat Istri yang bercerita tentang Mus, seorang suami yang diberi amanah oleh istrinya untuk membelikannya sebuah kimono biru bermotif burung bangau. Di Ginza, Mus malah bertemu sahabat lamanya yang membuatnya kilas balik tentang kehidupannya di masa lalu. Umar Kayam memperkuat watak tokoh-tokohnya dengan menggunakan dialog yang selalu menjadi suara khas dari masing-masing tokoh dalam ceritanya.

4 dari 5 bintang.

20130903-110237.jpg

Mama dan Kastengels

Salah satu hal yang saya rindukan setiap mudik lebaran adalah: Kastengel.

Sejak saya merantau semakin jauh dari rumah, Mama jadi jarang memasak. Apalagi membuat kue. Padahal, itu adalah kemampuan Mama yang paling juara, selain menjahit. Memasak dan menjahit, adalah dua hal yang paling mendefinisikan Mama. Ia kini masih menjahit untuk pesanan orang. Tapi memasak? Tidak lagi. Sangat jarang.

Saya tidak tahu apa alasan Mama tidak pernah memasak lagi di rumah. Mama dan Papa lebih sering makan di luar. Setiap mudik, saya merasa ada yang hilang. Mama tidak pernah lagi membuat kue lebaran. Hanya membeli di toko atau mendapat pemberian temannya. Terus terang, saya rindu masakan Mama. Saya rindu kue buatan Mama. Saya rindu… kastengel, buatan Mama.

Seminggu sebelum lebaran kemarin, saya diwawancarai oleh wartawan dari sebuah surat kabar lokal dan hasil wawancara itu dimuat di harian tersebut. Karena nuansa lebaran, pertanyaan dari wartawan harian itu pun menyinggung tentang mudik. Salah satu pertanyaannya adalah, apa yang paling saya kangenin saat mudik. Dan saya menjawab, seperti termuat di halaman artikel tentang saya itu, “Saya rindu kastengel buatan Mama.”

Tadi sore, Mama pulang ke rumah dari kantor dengan membawa bahan-bahan yang saya duga untuk membuat kue. Lalu barusan saya melihat Mama sedang sibuk di dapur.

“Mau bikin apa, Ma?” tanya saya, sembari menyaksikan Mama berkutat dengan bahan-bahan dan alat memasaknya.

“Bikin kastengel.” jawabnya singkat. “Untuk Abang.”

Sontak saya girang. Dan setelah kue panggang bertabur parutan keju itu mewujud nyata di atas loyang dengan harum yang menguar, saya menjelma seperti anak kecil yang diberi permen atau mainan favoritnya, “Aaaah!” saya ingin berteriak kegirangan. Sungguh, saya rindu sekali dengan kastengel buatan Mama. Ada haru yang terbit di dalam dada saya. Meski Mama tidak memasak atau membuat kue sesering dulu, tapi malam ini Mama membuat saya bahagia dengan memberikan apa yang saya rindukan darinya. Kue kastengel buatannya.

Mama, I LOVE YOU!!